Absurditas Manusia Modern
Absurditas
Manusia Modern :
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak
zaman Renaisance di abad 17 lalu, manusia memasuki “dunia baru”, dunia
yang begitu berbeda dengan tatanan dunia sebelumnya. Alfin Tovler,
futurolog yang membagi tiga tahapan perkembangan peradaban manusia, menyatakan
bahwa manusia saat ini hidup di tengah periode masyarakat komunikasi yang
berlangsung sejak 1970 hingga sekarang. Dalam kehidupan di dunia baru ini
manusia mengalami proses transformasi – untuk tidak mengatakan revolusi seperti
yang diistilahkan oleh Franz Magnis – yang begitu cepat dan mencengangkan.
Hasil olah sains dan teknologi canggih yang diciptakan manusia membuat sesuatu menjadi mudah, tidak berjarak dan tidak
tersekat oleh waktu dan tempat. Semuanya dapat dilampaui oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hikmat Budiman dengan sinis menyatakan, bahwa canggihnya
kehidupan modern belum, bahkan tidak terjangkau oleh mimpi-mimpi paling liar
sekalipun pada masyarakat primitif (1997).
Kecanggihan
ilmu pengetahuan sekarang ini membuka ruang dan cakrawala baru dalam tatanan
peradaban kehidupan manusia. Betapa tidak, sesuatu yang dahulunya dianggap
tabu, misteri dan merupakan wilayah metafisis bahkan teologis, dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi riil dan lumrah. Sebagai contoh, sebut saja
tentang penjelajahan manusia ke semesta lain, seperti perjalanan ke bulan dengan hanya menggunakan pesawat ulang alik
baik yang berawak maupun yang tidak; rekayasa genetika; teknologi informasi,
komunikasi dan transportasi. Akan tetapi, betapapun manusia telah berhasil dan
terus berhasrat melakukan eksplorasi dan menguak tabir misteri cosmic, termasuk
dirinya, namun keberadaan manusia itu sendiri tetap saja menjadi misteri yang
hingga kini, bahkan entah sampai kapan perlu diuangkap.
Berbagai
penemuan baru super canggih produk ratio telah mampu merubah tatanan dan pola
hidup yang dilakonkan manusia, termasuk paradigma kehidupannya. Perubahan
dimaksud sekaligus telah menjadi pertanda keberhasilan manusia mengganti peran
alam yang awalnya hadir sebagai mitra dalam kehidupan di semeta ini kini
menjadi objek eksploitasi hanya dengan mengedepankan dalih demi kelangsungan
hidup manusia dan demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seiring
dengan perjalanan waktu, manusia semakin terpesona dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai produk kerja ratio. Bahkan ironisnya, hanya
dikarenakan berbagai kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan sebagai
tawaran dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian berkembang,
manusia telah berani meniscayakan “ratio” yang terbukti telah berhasil
menghadirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tanpa disadari seiring
dengan itu pula ia telah mereduksi keniscayaan realitas lainnya termasuk agama
dengan berbagai elemen spiritual yang terkandung di dalamnya.
Keterpesonaan
akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakhir pada peniscayaan
terhadap ratio membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala
persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia
seperti itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004). Hal ini
disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah
membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Dunia
yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan
teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit
waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu.
Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan
waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan
tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu
waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain.
Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir
mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada
bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan
dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan
melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip Yasraf Amir Pilliang,
bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar
elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan
menyaksikan melalui video, film, televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang
bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian
tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya.
Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh
perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan
informasi.
Keniscayaan
Modernitas
Modernisasi
adalah sebuah keniscayaan sejarah yang pasti ada menyambangi sebuah peradaban
manusia, tak perduli apakah ia menghendakinya atau tidak. Menurut Franz Magnis,
modernisasi adalah satu revolusi kebudayaan paling dahsyat yang dialami manusia
sesudah belajar bercocok tanam dan membangun rumah. Modernitas bagaikan air bah
yang terus menerjang benteng-benteng kokoh mitologis masyarakat primitif dan menggantinya dengan bangunan baru yang
lebih rasional, kritis dan liberal. Modernisasi merupakan suatu proses raksasa
menyeluruh dan global. Tak ada bangsa atau masyarakat yang dapat mengelak dari
padanya.
Zaman
Modern sendiri, masih menurut Franz Magnis, diawali dengan ditemukannya 3 hal
penting yaitu penemuan dan pemakaian bubuk mesiu, mesin cetak dan kompas pada
abad ke-15 M di Eropa. Ketiga hal inilah yang menjadi pra-syarat
terciptanya masyarakat modern berikutnya
yang dimulai dari belahan dunia Eropa. Penemuan dan pemakain bubuk mesiu
berarti titik akhir kekuasaan feodal yang dipusatkan dalam benteng-benteng
feodalisme. Penemuan mesin cetak menandakan telah dimulainya proses
transformasi ilmu pengetahuan sehingga dapat dikonsumsi oleh khalayak ramai,
sehingga pengetahuan dan interprtasi kebenaran tidak lagi menjadi hak monopoli
satu golongan tertentu. Dengan mesin cetak, pengetahuan baru yang ditemukan
dari hasil eksplorasi para saintis dapat dipublikasikan secara lebih luas,
dengan demikian pengetahuan menjadi inklusif karena dapat diakses oleh siapa
saja. Kondisi ini memungkinkan percepatan perubahan dalam satu komunitas
peradaban karena telah terjadi dinamisasi khususnya pada aspek peradaban
intetektual. Di bagian lain, penemuan kompas mengisyaratkan bahwa navigasi
mulai aman, sehingga dimungkinkan
melakukan perjalanan jauh guna menemukan, membuka dan menjelajah dunia
baru.
Tiga
penemuan inilah yang menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia
selanjutnya menjadi semakin dahsyat juga liar. Karena tiga penemuan ini jugalah
kemudian lahir tiga gerakan yang menjadi landasan pembuka jalan ke dunia modern.
Ketiga gerakan itu adalah gerakan kapitalisme dengan teknik modern yang
memungkinkan industrialisasi,
subjektivitas manusia modern dan rasionalisme.
Dari ketiga gerakan di atas
kemudian lahirlah modernisme sebagai anak dari karya intelektual manusia. Ia
menggurita dalam tiap aspek kehidupan manusia. Banyak penemuan-penemuan ilmiah
baru yang mencengangkan dan membelalakkan mata manusia awam. Dimulai dari
penemuan Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang ilmuan yang
mengumandangkan teori bahwa matahari sebagai pusat tata surya (helio sentris), Johanes Kepler (1571-1630) yang menemukan hukum gerak planet,
Galileo Galilei (1564-1626), dan sederet nama-nama lainnya. Sejak abad
ini, dimulailah satu proyek besar ambisius oleh masyarakat barat, yaitu apa yang
mereka sebut dengan modernisasi.
Menurut
Lawrence, secara terminologi kemoderenan dapat dipahami sebagai sebuah kondisi
atau keadaan dimana muncul serangkaian perubahan dan peningkatan dalam
kehidupan manusia, mulai dari sistem birokrasi, rasionalisasi, kemajuan dalam
bidang teknis dan pertukaran global yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia
era pra-modern. Lawrence berupaya mengambarkan modernisme sebagai “pencaharian
otonomi individu, menekankan pada perubahan
nilai secara kuantitas, efisiensi dalam produksi, dan kekuatan serta keuntungan
di atas simpati terhadap nilai-nilai tradisional atau lapangan pekerjaan dalam
ruang publik maupun pribadi. Keberhasilan tersebut –technical capacities
dan global exchange—merupakan konsekuensi material dari ideologi
modernisme, yang kemudian memarginalisasikan peran agama. Dari sini kemudian
muncul perdebatan dimana orang banyak mendudukkan modernisasi vis-a-vis agama.
Anomali
Modernitas
Adalah hal yang tak terbantahkan, bahwa sains dengan
penemuan-penemuan spektakulernya membawa berkah bagi kehidupan manusia berupa
kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Saat ini kita dapat merasakan
bahwa hampir semua pekerjaan dapat dikerjakan oleh mesin mulai dari yang paling
berat, rumit dan sulit hingga yang paling sederhana, gampang dan mudah. Dalam
tiap ritme kehidupan, kita selalu dikelilingi oleh mesin, seolah kita tidak
bisa hidup tanpanya sebagaimana sebagai makhluk seorang makhluk sosial, kita
tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya di sekeliling. Demikian adanya bahwa
mesin memudahkan, membuai dan memanjakan kehidupan kita. Tetapi sekali lagi
kita mesti ingat bahwa modernitas adalah produk ambigu manusia yang
menghadirkan dua sisi berhadap-hadapan.
Di satu sisi, modernitas menghadirkan dampak positif
dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga
tidak dapat ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menimbulkan akses
negatif yang sangat bias. Dampak paling krusial dari modernitas menurut Budi
Munawar Rahman, adalah terpinggirkannya manusia dari lingkar eksistensi
(Komarudin Hidayat & Wahyu Nafis,1995). Menurutnya, manusia modern melihat
segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi.
Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya,
terpinggirkan. Makanya, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan
yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan
tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan. Dengan
mengutip Schumacher dalam bukunya “A Guide for the perplexed”, manusia
kemudian disadarkan melalui wahana krisis lingkungan, bahan bakar, ancaman
terhadap bahan pangan dan kemungkinan krisis kesehatan.
Awal mula krisis eksistensial ini sebagaimana yang
pernah ditulis oleh Huston Smith dalam bukunya “Kebenaran yang Terlupakan”
adalah saat seorang filsuf Perancis Rene Descartes (1596-1650) mempublikasikan
karyanya yang berjudul “Discourse on Method of Rightly Conducting the Reason
and Seeking the Truth in the Science“. Dalam karyanya ini Descartes dengan
jargon Cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) ingin mengungkapkan
bahwa alam adalah sesuatu yang terpisah dari manusia sebagai subjek berpikir.
Tidak ada yang tidak dapat diketahui manusia jika ia mau menggunakan
pikirannya. Menurut Hikmat Budiman, filsafat Descartes ini dipandang sebagai
penghulu terjadinya cara berpikir dualisme, dimana ia telah menghadirkan sebuah
distinksi atau perbedaan atau pemisahan antara subjek (res cogitant)
sebagai yang berpikir dan objek (res extensa) yang berada di luar. Di
antara keduanya dijembatani dengan ilmu pengetahuan alam atau wacana (ergo). Hal ini berkonsekuensi pada terjadinya
superioritas subjek terhadap objek, sesuatu dikatakan ada atau tidak ada,
tergantung pada dipikirkan atau tidak dipikirkannya oleh subjek. Jika
sebelumnya alam dikaitkan dengan eksistensi kekuasaan Yang Maha Agung (Tuhan)
yang kemudian termanifestasi dalam figur totem, taboo, animisme, dinamisme
bahkan agama, maka metodologi eklektis Cartesian kemudian menjadikan akal
sebagai avant-garde eksistensi manusia di hadapan alamnya. Manusia
dengan akalnya merasa mampu membedah alam, untuk kemudian menundukkannnya,
sehingga alam hanya dijadikan sebagai objek yang dipikirkan (res extansa).
Ini kemudiaan disebut oleh Imanuel Levinas, dijuluki sebagai egologi,
yaitu ilmu pengetahuan yang berkutat dengan ego manusia.
Kerangka filosofis tersebut yang kemudian mendudukkan
alam (nature) sebagai subordinasi dari manusia atau inferior vis a vis manusia (res cogitant). Supremasi ilmu pengetahuan alam dan semangat
aufklarung ini yang kemudian memunculkan semangat kapitalisme dan
kemudian imperialisme. Hal tersebut
dapat kita pahami melalui persfektif teori sistem dunia dan teori
ketergantungan.
Pada persoalan lain, secara ekstrem sebenarnya
modernitas mengancam eksistensi kemanusiaan. Betapa tidak, dengan ditemukan dan
dipakainya bubuk mesiu pada akhir abad ke-15 lalu di Eropa, maka bermunculan
senjata-senjata canggih pemusnah massal. Beberapa tragedi dalam lintasan
sejarah seperti pengeboman oleh tentara
Amerika dengan bom atom di Nagashaki dan Hirosima, penggunaan gas sarin oleh
sekte Aom Shinrikyu di stasiun kereta api bawah tanah yang menewaskan banyak
orang, tragedi WTC dan masih banyak lagi peristiwa lainnya, ini adalah ciri peperangan pada abad modern yaitu memusnahkan secara
massal. Mungkin kita juga masih diingatkan dengan peristiwa ledakan pabrik
kimia di Bhopal, India, pada bulan September 1984, atau yang terjadi pada
perusahaan nuklir di Chernobyl, di bekas Uni Soviet, pada bulan April 1986,
semua menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Pada aspek lingkungan, kita juga mencatat betapa
teknologi sangat tidak bersahabat dan mempunyai konstribusi signifikan terhadap
kerusakan lingkungan. Lapisan ozon yang telah menipis akibat efek dari
banyaknya rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan oleh pabrik serta
kendaraan bermotor, hutan yang gundul, pantai yang mengalami abrasi, air sungai
yang terkontaminasi dan lain sebagainya adalah akibat logis dari modernitas.
Pada ranah ini, tidak hanya eksistensi manusia yang terancam tetapi juga alam
secara makro. Sederhananya bahwa alam telah terekploitasi sedemikian bejadnya
oleh interest rakus para individu penjelajah harapan dengan mengatasnamakan
kepentingan kemanusiaan. Eksploitasi yang tidak logis dan berimbangan ini
sejatinya telah merusak relasi arif antara meta cosmic, makro cosmic dan
mikro kosmic yang dahulunya saling berdialektika dalam satu relasi
interdependensi.
Lain
lagi menurut Erich From dalam bukunya “The Revolution of Hop” bahwa
dalam kehidupan manusia modern di tengah-tengahnya ada “hantu”. Terma hantu
yang dipakai dan dimaksudkannya di sini adalah ilustrasi terhadap pola
masyarakat yang dimesinkan secara total,
manusia adalah mesin yang mekanis. Totalitas kehidupannya dicurahkan untuk
meningkatkan produksi dan konsumsi material, yang dalam prosesnya -lebih
ironis- bahwa ia diarahkan oleh komputer-komputer (baca: mesin). Manusia tidak
lagi berfungsi sebagai manusia yang utuh. Dalam
proses sosial semacam ini manusia
menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup, tetapi
pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan.
Semua persoalan dalam konteks ini ditinjau dari perspektif material,
padahal menurut Plato, seorang filosof Yunani, manusia adalah konfigurasi dari
dua realitas tak terpisahkan yakni fisik yang mengambil bentuk material dan
psikis yang mengambil bentuk jiwa atau spirit. Artinya, mengabaikan atau
memprioritaskan salah satunya sama artinya dengan menjadikan manusia bukan
manusia sebenarnya.
Hal
lain yang juga telah menjadi karakter manusia modern yang materialistik oriented adalah budaya pragmatisme dan hedonisme.
Pragmatisme1 adalah cara pandang yang
melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasil dari sesuatu. Jika ia
bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai.
Demikian juga dengan budaya hedonisme2, totalitas kehidupan semuanya
diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena
akumulasi yang banyak dari kenikmatan material, dan sebaliknya kesengsaraan
adalah disebabkan manusia tidak menemukan kenikmatan. Motto yang paling
terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat
diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada
proses selanjutnya dapat dipastikan bahwa akan terjadi peminggiran terhadap
beberapa sisi dari kemanusian itu
sendiri, terutama persoalan moralitas juga etika.
Dalam
ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak hari ini
penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai dari pelecehan
seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obat terlarang, minuman keras,
aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya
menghiasi wajah gelap modernitas. Itulah di antara beberapa anomali yang
include dalam modernitas itu sendiri dimana kesemuanya ternyata sangat
potensial untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai
kesimpulan sementara dapat dikatakan,
bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak
diiringi dengan kemajuan kualitatif.
Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah
mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas[3] inilah yang selanjutnya
menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia
jalani.
Modernitas
senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif.
Terhadap dampak negatif ini, pertanyaan kita selanjutnya adalah apa yang seyogyanya
kita lakukan, sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik
gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi
budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan
demikian satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menjadi partisipan
aktif dalam arus perubahan modernitas,
sekaligus membuat proteksi dari akses negatif
yang akan dimunculkan. John
Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000“ mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini,
maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas
manusia modern. Dalam tesisnya ia mengatakan bahwa era milenium seperti sekarang merupakan era
kebangkitan agama dan nilai-nilai esoteric. Bagi manusia modern, akses-akses
negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi akan mampu di proteksi oleh kearifan
esoteric sebuah relegiusitas. Tetapi yang menarik dari fenomena ini adalah
bahwa kecendrungan sikap dan pilihan beragama kaum modernis adalah model
beragama yang mengedepankan spirit
relegiusitas ketimbang formalitas agama konvensional. Slogan mereka yang cukup
terkenal itu adalah “Spirituality yes, organized relegion no” (Naisbitt,1990).
Hal ini jika kita simak secara mendalam lebih disebabkan oleh adanya
pengaruh dari karakteristik modernisasi yang mengdepankan rasio dan daya kritis
terhadap sebuah kebenaran.
Terdapat alasan ontologis-teologis mengapa sisi
spiritualitas tetap menjadi kebutuhan perenial manusia; seprimitif dan
semoderen apapun dia. Ia menganalogikan kebutuhan perenial itu dengan
memetaforakan seperti sebuah cerita film (Yasraf Amir Pilliang, 2004). Bila di
dalam segala sesuatu telah diketahui sebelumnya, artinya tidak ada lagi misteri
dan pertanyaan yang perlu dijawab, enigma yang harus diselesaikan dan
lain-lain, maka tidak ada makna baru yang penting dicari karena semuanya telah
terbuka dan tersibak. Apa yang menarik dari sebuah film tersebut untuk kita
tonton hingga menghabiskan waktu berjam-jam, toh kita telah tahu semuanya,
seperti apa ending dari ceritanya. Film baru akan menarik manakala ia
menghadirkan rasa penasaran, karena ia menyimpan misteri, pertanyaan dan enigma
sehingga ia akan menghadirkan pengalaman baru bagi penontonnnya.
Demikian pula
kehidupan ini, manakala saat kita berada di atas dunia semuanya telah menjadi
nyata, semua membentangkan realitas sebenarnya, tidak ada lagi ruang suci tak
tersentuh yang kemudian menjadikan kita tidak lagi mempunyai pekerjaan untuk
memimpikan, mengilusikan, menghayalkan, dan menafsirkan, sesungguhnya tidak ada
lagi yang namanya kehidupan di dunia. Dunia akan hidup manakala masih ada
realitas tak tersentuh yang kemudian menghadirkan energi bagi manusia untuk
berikhtiar mengungkapnya baik melalui penalaran, perenungan, pengembaraan jiwa
dan lain-lain. Yang jelas bahwa Realitas Tak Tersentuh ini sebagai sesuatu yang
berada di luar kekuasaan manusia, di luar pengalaman manusia dan mungkin di
luar kemampuan akal manusia pula. Oleh manusia, Ia disebut secara beragam:
Penggerak yang Tak Tergerak (Un-moved mover), Transendental, Tuhan dan
lain-lain. Maka, selama Realitas Tak Tersentuh Yang Tak Terbatas ini masih ada,
maka masih ada kekuatan lain yang berada di atas kekuatan manusia dan di
sinilah spiritualitas menemukan ruangnya.
Prof. Zakiah
Darajat, dalam bukunya “Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental”, menyatakan bahwa
fungsi agama adalah :
1.
Agama
memberikan bimbingan bagi manusia dalam mengendalikan dorongan-dorongan sebagai
konsekwensi dari pertumbuhan fisik dan psikis seseorang.
2.
Agama
dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran dalam hidup. Seperti
pada saat menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang dapat menggelisahkan
bathin dan dapat membuat orang putus asa.
Disini agama berperan mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
3. Agama sebagai pengendali
moral, terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika etis, seperti
prilaku sex bebas (untuk konteks sekarang Narkoba dan yang paling mutakhir
syndrom politic, ekonomi dan budaya, Pen) (Lih. Zakiah Deradjat : 1982)
Zakiah
lebih menekankan fungsi psikis dari agama, sedangkan Nico Syukur Dister
disamping mengemukakan fungsi emotif-afektif dan fungsi sosio-moral dari agama,
juga menambahkan fungsi intelektual-kognitif, yaitu Agama sebagai sarana untuk
memuaskan intelek manusia manakala manusia diliputi pertanyaan-pertanyaan yang
sifatnya fundamental. Sebagai misal, ketika manusia bertanya tentang hakikat
penciptaan dan tujuan keberadaan mereka di muka bumi ini. Nico menjelaskan ada dua sumber kepuasan
dapat ditemukan dalam agama oleh intelek, yaitu : pertama, agama dapat
menyajikan pengetahuan yang sifatnya rahasia; Kedua, memberikan kepuasan dalam
pertanyaan-pertanyaan etis.
Dalam
konteks ini, asumsi awal yang dapat kita berikan bahwa semoderen apapun sebuah
komunitas, agama tetap akan eksis, dibutuhkan dan tetap dapat menjadi tawaran
solutif terhadap penyakit sebagai darivasi dari peradaban yang dimunculkan.
Agama diperlukan guna menjelaskan makna dan tujuan hidup manusia. Agamalah yang
mengisi sisi spiritual manusia yang tidak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas
dan ilmu pengetahuan. Bahkan menurut William James, agama akan selalu ada
selagi manusia memiliki rasa cemas.
Robert
N. Bellah di dalam Beyond Belief, memerikan bahwa mayoritas masyarakat
Amerika – masyarakat yang biasanya diidentikkan dengan masyarakat sekular –
ternyata masih membutuhkan keyakinan akan Tuhan, agama atau spiritualitas,
meskipun interpretasi dari Tuhan dan agama ini sangat berbeda dari pengertian
Tuhan dan agama sebagaimana yang ada pada agama konvensional. Bellah
mengistilahkan spiritualitas seperti ini dengan agama civil (civil relegion),
karena para penganutnya memasukkan kesadaran spiritualitasnya ke dalam ruang
yang lebih umum, konsep Tuhan digeneralisir, dalam pengertian bahwa meskipun
orang berbeda agama, akan tetapi mereka dapat mempunyai konsep Tuhan yang sama.
Dalam
pengungkapan berbeda, George M. Marsden menyatakan bahwa agama bagi sebagian
masyarakat modern telah kehilangan semangat komunalnya. Agama menjadi sangat
pribadi dan individualistik. Kearifan nilai agama ditafsirkan secara subjektif
sesuai dengan kepentingan masing-masing. Termasuk interpretasi tentang konsep
ke-Tuhan-an, walau mereka yakin mempunyai Tuhan yang sama tetapi mereka ingin
Tuhan yang mereka yakini itu adalah sebagaimana yang mereka
interpretasikan.
Namun
demikian tidak semua agama dapat menjawab persoalan kemanusiaan. Hanya agama
yang menjamin pemenuhan spritualitas dan tidak bertentangan dengan sains dan
teknologilah yang dapat bertahan. Selain itu pendekatan beragama yang cenderung
ekslusif juga tidaklah cocok untuk ditawarkan pada hari ini dan masa yang akan
datang karena pada masyarakat yang terbuka semacam ini agama semacam itu
cenderung menyulut konflik. Agama masa depan yang akan muncul adalah agama yang
menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama.
Teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan
kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan
kesadaran spiritual yang bersifat mistis (Komarudin Hidayat &
Nafis,1995).
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham
absolutisme dan akan memilih apa yang oleh Swidler disebut deabsolutizing
truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan sebagai relatively
absolute. Dikatakan absolut karena setiap agama mempunyai klaim dan
orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena klaim dan keyakinan agama
itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah. Tetapi tidak pula kita lantas sepakat
dengan kecendrungan spiritualitas sekular dimana manusia menuhankan
sesuatu yang mendunia (worldly), khususnya objek konkret maupun abstrak.
Spiritualitas semacam ini adalah spiritualitas penuh paradoks, yang didalamnya
manusia menuhankan sesuatu yang sama derajatnya dengan manusia itu sendiri.
Karena objek-objek tersebut adalah ciptaannya sendiri atau setidaknya hasil
proyeksi hayalnya, maka sangat tidak layak ia dituhankan. Sesuatu pantas
dianggap Tuhan apabila sesuatu itu adalah yang benar-benar melampaui dirinya
sebagai Yang Tak Terbatas, Tak Berhingga dan Tak Terjangkau.
Sebagai akhir dari bentangan ini,
penulis mencoba merefleksikan apa yang pernah ditawarkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Swiss Jean Jacques
Rousseau (1712-1778) saat ia menjawab sebuah pertanyaan “Apakah kemajuan seni
dan ilmu pengetahuan memberikan konstribusi terhadap pemurnian moralitas
manusia?” Pertanyaan dalam sebuah sayembara ini ternyata bagi Rousseau
membukakan kesadaran nalarnya bahwa terlalu banyak keganjilan yang terjadi
dalam tata kehidupan masyarakat pada waktu itu. Hasil perenungannya di bawah
pohon ternyata sangat mengejutkan banyak pihak. Ia katakan bahwa kemajuan dalam
bidang seni juga ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak membuat manusia semakin beradab
alias tidak membuat moralitas manusia semakin murni (Russel,2004). Justru
sebaliknya, bahwa kemajuan peradaban akal budi semakin membuat kehidupan
manusia tercerabut dari keharmonisan yang sungguh merupakan watak awalnya.
Dalam tulisan panjangnya ia mengatakan, bahwa klaim kemajuan peradaban bangsa
Prancis saat itu semu belaka karena hanya kemajuan pada ranah material
kuantitatif yang terjadi, tetapi
tidak pada ranah kualitatif. Di antara
indikatornya adalah bahwa raja (penguasa) semakin bar-bar melakukan eksploitasi
pada rakyat dengan melakukan penarikan pajak secara semena-mena, sementara
kalangan mereka sendiri terbebas dari beban tersebut. Wal hasil, kemajuan hanya
dapat dinikmati segelintir kelompok saja yakni bagi mereka yang mempunyai akses
kekuasaan juga kekayaan. Kesimpulannya bahwa kemajuan hanya membuat manusia
semakin terperosok dalam keterasingan akan diri mereka yang sebenarnya.
Menurutnya, sebelum manusia
membentuk komunitas dengan perangkat-perangkat yang terlembaga, kehidupan
manusia berjalan sangat harmoni. Terjadi relasi yang saling ketergantungan
antara manusia, alam dan Yang Kuasa. Pada dasarnya watak manusia secara alamiah
adalah baik. Ia mempunyai sifat-sifat yang lugu, jujur, toleran dan bersahaja
sebagai sifat yang tidak dibuat-buat. Tetapi kemudian karena muncul
pelembagaan, mulailah secara perlahan klaim-klaim. Klaim hak milik, klaim
kelompok paling benar, paling superior dan seterusnya. Di sinilah kemajuan
menjadi tersangka sebagai biangkerok tercerabutnya sifat alamiah manusia yang
adi luhung. Sebagai tawarannya, Rousseau mengajak untuk kembali ke alam (retoyr
a la nature).
Dalam konteks kenestapaan
manusia modern terhadap absurditas yang mereka rasakan, rasanya masih sangat
relevan apa yang ditawarkan oleh Rousseau tersebut. Hanya saja, jika 257 tahun
yang lalu Rousseau mengajak kembali ke alam, maka tawaran agar manusia berubah
dalam rangka mengembalikan citra kemanusiaanya melalui kearifan nilai
relegiusitas (spiritual) adalah konteks tawaran yang tepat terhadap masalah keterpinggiran manusia
moderen dalam lingkaran eksistensinya. Kembali kepada spiritualitas di tengah
kepongahan modernitas adalah mengembalikan rasa kehadiran Yang Suci di
tengah-tengah moralitas manusia yang sejatinya memang telah dititipkan oleh
Yang Suci pada tiap diri manusia. Spiritualitas adalah infinite idea yang
inheren dalam totalitas kemanusiaan manusia. Mengingkarinya berarti mengingkari
kedirian sebagai seorang manusia.
Sejarah
membuktikan tentang hal ini, bahwa manusia mustahil hidup tanpa nilai spiritual
yang ia akui sebagai Yang Maha Agung, dan yang dapat memenuhi kebutuhan
spiritual manusia itu hanya agama. Sistem ideologi apapun yang ditegakkan oleh
manusia seraya menafikan kenyataan bahwa manusia tidak melulu materi pasti akan
mengalami krisis bahkan kehancuran. Manusia mungkin dapat hidup dalam sistem
yang baru, namun jiwanya tetap dikendalikan oleh fitrah-fitrah yang tidak dapat
dijelaskan dan dipuaskan secara materialistik. Hanya agamalah yang dapat
menjelaskan dan memuaskannya. Alih-alih berkehendak untuk tidak bertuhan dan
tidak mengakui nilai-nilai metafisik, justru hal ini akan memunculkan satu
sistem agama baru dimana sang penggagas menjadikan diri dan konsepnya sebagai
tuhan. Tentu kita berpikir betapa primitif dan tidak jelasnnya ide ketuhan
seperti ini. Tetapi seprimitif dan tidak jelas bagaimanapun ide tersebut, bahwa
manusia tidak dapat menghindar dari ide tentang Tuhan.
Namun tidak semua agama relevan untuk ditawarkan pada
masyarakat modern, hal ini disebabkan karena manusia modern yang sangat
mengagungkan hasil pengembaraan intelektual tidak akan mudah menerima begitu
saja suatu sistem kepercayaan. Hanya
agama yang tidak menafikan peran rasiolah yang akan bertahan disamping
kemampuannya memenuhi kebutuhan spiritualitas yang tidak diberikan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di samping itu watak masyarakat modern yang tanpa
batas mengharuskan sebuah sistem ideologi – termasuk agama – yang dapat
bertahan hanyalah yang dapat menghargai berbagai sistem ideologi lain yang
berbeda. Inilah barangkali model keberagamaan masa akan datang yang
menghadirkan sisi spiritualitas lebih dalam. Spiritualitas seperti inilah yang
sejatinya memberikan bingkai secara idiologis kejatidirian manusia dari
serangan kehampaan dan keterasingan yang ditawarkan oleh nilai modernitas.
Tetapi manusia modern mesti hati-hati dan arif, karena tidak semua tawaran
spiritualitas baru memuarakan pada puncak spiritualitas sebenarnya.
Spiritualitas sekular misalnya, spiritualitas ini mengandung kesalahkaprahan
karena menyandarkan rasa spiritual kepada sesuatu yang tidak pantas memberikan
sandaran. Sesuatu yang Tak Terbatas, Tak Berhingga, Tak Terjangkau, Transenden,
Wajah Suci dan lain sebagainya adalah beberapa simbol yang sebenarnya layak
untuk itu.
Menghadirkan
yang Transenden adalah kemestian di saat kenestapaan sedang kita alami.
Persoalannya kemudian adalah apakah kita mau jujur menghadirkan spirit yang Transenden tersebut,
karena ia sungguh telah hadir dengan sendirinya disaat bersaman kita menjadi
manusia. Wallahu’alam bi al-sawab.
DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno, 1995, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, Cet. IV, Yogyakarta : Kanisius.
FROMM, Erich,
1996, The Revolution of Hope, terj. Kamdani, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Hikmat Budiman, 1997, “Pembunuhan yang selalu gagal”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, 1995, “Agama Masa
Depan, perspektif filsafat perennial”, Jakarta
: Paramadina.
Listiyono Santoso, dkk.,
2003, Epistimologi Kiri, Yogyakarta : Ar-Ruzz.
NAISBITT, John, Patricia Aburdene, 1990, “Megatrends 2000
(Ten new directions for the 1990’s)”,
New York Avon book.
Nurcholish Madjid, 1995, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Paramdina.
RUSSELL, Bertrand, 2004, Sejarah Filsafat Barat;
Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj.
Sigit Jatmiko dkk., Yogyakarta : Pustka Pelajar.
SMITH, Huston, 2001, Kebenaran yang Terlupakan Kiritik
atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta : IRCiSoD.
TITUS, Harold H., etc., 1984, Persoalan-persoalan
Filsafat, terj. Rasidi, Jakarta :
Bulan Bintang.
Yasraf Amir Pilliang, 2004, Dunia yang Dilipat:
Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta : Jalasutra.
Zakiyah Darajad, 1976, Membina
Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang.
* Makalah dibentangkan dalam acara Annual
Conference di Grand Hotel Lembang Jawa Barat pada tanggal 26 - 30 Nopember
2006.
1 Pragmatisme
sangat melekat dengan tokoh William James, seorang tokoh filsafat berkebangsaan
Amerika. Pragmatisme sendiri sebagai sebuah aliran dan ideology mendapat
tempatnya di Amerika dan sangat berkembang subur disana. Hal ini
dimungkinkan karena Amerika sangat modern dalam tatanan kehidupan, dengan
demikian pragmatisme hanya sebagai aliran yang melegitimasi saja. Lihat lebih
lanjut dalam Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
2 Hedonisme adalah
istilah yang berasal dari bahasa Yunani Hedone yang artinya kenikmatan. Sikap hidup hedonis
sendiri sebagai sebuah etika telah mulai
ada sejak zaman Yunani Kuno terutama etika yang dikembangkan oleh Aris Thippus,
seorang yang mengaku murid Socrates. Dalam etikanya ia mengembangkan sikap
hidup yang berlandaskan akumulasi kenikmatan, terutama kenikmatan material.
[3]
Absurditas adalah istilah yang sangat melekat pada sosok Albert Camus. Ia
menggunakan istilah ini untuk mengambarkan suatu keadaan manusia modern yang
tengah mengalami keputusasaan yang disebabkan
adanya pemisahan antara dirinya
dengan apa yang dilakonkannya.
Komentar